Yesus lahir dalam kesederhanaan. Dia adalah Raja, jadi sebenarnya Dia dapat memilih tempat dimana Dia akan dilahirkan. Dia bisa saja memilih istana yang megah dan penuh keindahan, tetapi sebaliknya Dia memilih kandang dengan bau yang mungkin saja menyengat.Dia bisa saja memilih untuk diletakkan di pembaringan yang empuk, tapi Dia justru memilih palungan. Dia bisa saja memilih sutra termahal untuk menyelimuti-Nya -- ingat, Dia Raja dan Tuhan -- tetapi Dia membiarkan kain lampin yang kasar dan sederhana membungkus-Nya. Saat Dia lahir, bisa saja Dia mengundang pembesar dan golongan bangsawan untuk datang melihat-Nya, tetapi Dia justru memilih para gembala sebagai tamu kehormatan!
Kelahiran Kristus itu sederhana, bahkan sangat sederhana. Namun anehnya Natal sekarang ini sudah identik dengan kemewahan. Kalau tidak mewah, bukan Natal namanya. Jika anggaran dana Natal tidak membengkak sampai berpuluh-puluh juta, Natal yang kita peringati serasa kurang afdol. Dengan dalih rohani, kita selalu berkata bahwa kita sedang menyambut kelahiran Raja di atas segala raja, sehingga segala pemborosan yang kita berikan tidak berarti sama sekali. Memang tidak pantas jika kita membuat perhitungan finansial terhadap Tuhan. Namun, apakah benar semua kemewahan itu untuk Tuhan, ataukah sebaliknya untuk memuaskan keinginan kita sendiri? Bukankah sejujurnya kita sungkan dengan tamu undangan yang datang dalam acara Natal kita itu, sehingga mau tidak mau kita akan menyiapkan acara itu semewah mungkin? Padahal bisa saja kita merayakan Natal dalam kesederhanaan tanpa mengurangi esensi Natal itu sendiri.
Seandainya waktu bisa diputar ulang, saya ingin kembali ke Natal yang pertama untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana suasana di Betlehem. Sementara semua penduduk desa kecil itu sudah tertidur pulas, di suatu tempat, tepatnya di sebuah kandang sederhana, terlihat Yusuf dengan Maria yang sedang menggendong Sang Mesias. Serombongan gembala datang dengan ekspresi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Suasana di sana begitu hangat, tenang, teduh dan dipenuhi kedamaian yang tak terkatakan. Natal pertama memang diwarnai dengan kedamaian.
Dua puluh abad kemudian, Natal masih diperingati. Kisahnya masih terus diceritakan. Bahkan cerita Natal itu tampaknya tidak pernah usang. Hanya sayang, kedamaian yang menyelimuti Natal pertama berangsur-angsur hilang. Kini kita memperingati Natal, tapi tak pernah merasa damai. Sebaliknya, Natal tidak lebih dari kegiatan tahunan yang membuat kita letih. Bahkan kadang kala kita memperingati dengan kegelisahan dan kegalauan dalam hati. Kehadiran Sang Mesias tidak cukup memberi rasa tenang dan rasa aman. Berita kelahiran Juruselamat tidak sanggup menghembuskan rasa damai di hati kita. Tak heran jika Natal tidak begitu berkesan dalam hidup kita. Sama sekali tidak membekas. Bahkan berlalu begitu saja.
Jika kita mau merenungkan lebih jauh, bukankah benar bahwa makna Natal dalam pengertian yang sebenarnya telah bergeser begitu jauh? Makna Natal yang sebenarnya diganti dengan hal-hal lahiriah. Digantikan dengan pesta pora, hura-hura, dan kemewahan yang sia-sia. Dilewatkan begitu saja, bahkan sebelum kita bisa mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Alangkah indahnya jika kita bisa kembali ke Natal yang pertama. Merasakan Kristus dalam kesunyian, membuat jiwa kita lebih peka terhadap suara-Nya. Merasakan Kristus dalam kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang hidup dalam kekurangan, yang dilanda bencana atau yang sedang dirundung kesedihan. Merasakan Kristus dalam embusan damai, mengusir jiwa yang gelisah dan galau.