31 Desember 1949 silam, tepatnya di Kebumen, Jawa Tengah saya lahir ke
dunia ini dari keluarga yang belum mengenal Yesus. Keluarga saya sangat
meyakini ajaran kejawen (Jawa). Jika ada hal-hal aneh yang terjadi dalam
hidup kami, biasanya kami berkonsultasi pada dukun (orang pintar). Hal
itu berlaku sejak saya kecil hingga dewasa.
Keadaan pas-pasan orangtua saya, membuat saya hanya dapat menikmati pendidikan sampai kelas 6 SD. Setamat sekolah saya harus bekerja. Mulanya bekerja pada paman, membantu beliau berdagang kelontong. Namun semangat muda yang sangat menggelora, membuat saya tergoda untuk merantau ke Jakarta seperti yang dilakukan beberapa teman saya.
Keadaan pas-pasan orangtua saya, membuat saya hanya dapat menikmati pendidikan sampai kelas 6 SD. Setamat sekolah saya harus bekerja. Mulanya bekerja pada paman, membantu beliau berdagang kelontong. Namun semangat muda yang sangat menggelora, membuat saya tergoda untuk merantau ke Jakarta seperti yang dilakukan beberapa teman saya.
Di Jakarta, saya tidak mempunyai kerabat atau saudara. Yang ada hanya keluarga teman sekampung. Mengawali perjuangan di Jakarta, saya menginap di rumah seorang teman sekaligus membantu keluarganya berdagang. Namun, karena berbagai banyak hal, akhirnya saya memutuskan bekerja sebagai kuli bangunan dan tinggal di bedeng (rumah sementara yang disediakan mandor bangunan di area bangunan).
Bekerja sebagai tukang bangunan
kala itu, membuat penghasilan saya jauh lebih baik. Hal ini membuat saya
berani menikahi seorang wanita dari kampung halaman, dan membina rumah
tangga bersamanya. Setelah kami menikah, kami menyewa sebuah rumah
kontrakan.
Kehidupan rumah tangga ternyata bukan memberi
kebahagian, malah menambah banyak persoalan hidup.Mulai dari masalah
ekonomi sampai masalah hubungan dengan keluarga istri. Sampai suatu
hari, bos tempat saya bekerja, menanyakan perihal hidup saya. Ia seorang
Kristiani dari keturunan Tionghoa. Ia bertanya, mengapa saya tidak
menjalankan ibadah seperti kepercayaan yang saya anut. Karena saya
memang tak pernah menjalankan perintah agama kala itu. Ia lalu mengajak
saya ke gereja. Saya pun ikut saja. Di gereja, ia menjelaskan kalau
nanti ada kotak untuk mempersembahkan uang untuk gereja. Lalu ia
memberikan saya uang agar saya memasukkan uang itu ke dalam kotak. Saya
menurutinya. Meski tak mengerti tentang acara gereja, namun saya
merasakan ada satu kedamaian yang tak pernah saya rasakan.
Minggu demi Minggu saya lewati dengan pergi ke gereja bersama bos saya.
Hal itu terjadi sekitar tahun 1977. Setelah 3 tahun lamanya, saya pun
memutuskan untuk ikut kelas katekisasi di gereja dan dibaptis tahun
1980. Saat itu istri saya belum mau menerima Yesus. Jangankan menerima
Yesus, ke gereja saja ia tak mau.
Mengenal Yesus dan
menerima-Nya sebagai Juruselamat ternyata tak membuat hidup saya semakin
baik. Gelombang masalah rumah tangga saya malah semakin berat. Waktu
itu, sekitar tahun 1982, bos saya memutuskan pindah ke Bandung karena
bisnis yang dirintisnya di Jakarta mengalami masalah. Ia memang mengajak
saya turut serta, namun karena berbagai faktor, sayapun menolaknya. Hal
ini membuat saya bingung mencari pekerjaan. Selama itu saya mencari
informasi dari teman-teman sekampung, di mana ada lowongan pekerjaan
sebagai buruh bangunan. Tuhan pun membuka jalan. Saya bekerja lagi
sebagi tukang bangunan. Tapi belum lama bekerja, saya terjatuh dan
membuat tangan kiri saya patah. Selama 10 bulan saya tidak bisa
bekerja.Karena tak memiliki cukup uang, saya hanya mengobati tangan saya
ke tukang pijat. Namun pertolongan Tuhan selalu nyata setiap hari
sehingga saya tak pernah berkekurangan meski tidak memiliki penghasilan.
Anak saya yang kedua pun selalu menangis pada malam hari.Menurut cerita
tetangga kami, rumah kontrakan yang kami tempati ada ‘penunggunya’ atau
mahluk halusnya. Tapi saya tidak mempercayai hal itu. Hingga suatu hari
beberapa pengerja gereja dan hamba Tuhan datang dan mendoakan, barulah
ada perubahan. Namun anak saya tetap menangis setiap malam. Tapi kali
ini ia menangis minta dan menunjuk-nunjuk arah jalan menuju gereja.
Awalnya istri saya tak mengerti, lalu menuruti keinginan anak saya.
Setelah tiba di gereja ia menjadi tenang. Hal ini sering berlangsung,
sehingga istri saya sering ke gereja, bukan untuk ibadah tapi untuk
mendiamkan anak saya. Lama kelamaan, kaum wanita dari gereja mengajak
istri saya bergabung. Awalnya ditolak istri saya, tapi lama kelamaan ia
datang juga mengikuti ibadah. Sehingga tahun 1985 istri saya dibaptis.
Akhirnya sekitar tahun 1993 saya meneguhkan pernikahan saya dan istri
saya. Kami mengucapkan janji pernikahan secara Kristen di depan altar
gereja. Rasanya seperti kembali memulai hidup baru bersama istri walau
kami sudah lama menikah. Kehidupan selanjutnya saya jalani bersama istri
dengan melayani Tuhan di gereja. Saya bersyukur dapat mengenal Yesus.
Ia memilih saya walau saya tak berarti dan sangat rendah. Tuhan memberi
saya kesempatan untuk menjadi terang dalam keluarga besar walau mereka
belum menerima Yesus, bahkan mereka membenci Yesus. Tapi saya percaya
Tuhan akan memberikan mereka kesempatan seperti yang saya alami. Tuhan
memberkati hidup saya sehingga bisa menyekolahkan anak-anak hingga tamat
SMA dan perguruan tinggi. Tuhan juga memberikan anak-anak yang setia
dan rajin melayani Tuhan. Saya bangga mengenal Yesus.
No comments:
Post a Comment