Tak berapa lama, dalam perjalanan pulang, seorang pejalan menabrak si
buta. Dalam kagetnya, si buta memaki, Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat
orang buta dong! Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
Lebih lanjut, seorang pejalan lain menabrak si buta. Si buta bertambah
marah, Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa
lihat! Pejalan itu menukas, Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu
sudah padam! Si buta tertegun.... menyadari situasinya, sang penabrak meminta
maaf, Oh, maaf, akulah yang 'buta', tidak melihat bahwa engkau adalah orang
buta. Wajah si buta memerah karena malu, dengan tersipu ia menjawab, Tak apa,
maafkan aku juga atas kata-kataku yang kasar. Dengan tulus, si penabrak
membantu menyalakan kembali pelita si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan
masing-masing.
Saat itu, seorang pejalan lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja
ia menabrak kedua orang buta yang sedang mencari-cari pelita mereka. Ia pun
berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam
benak orang ini, Rasanya, aku perlu juga membawa pelita, agar aku dapat melihat
jalan dengan lebih baik, dan agar orang lain pun dapat terbantu melihat jalan
mereka.
Saudara/i Yang terkasih..!
Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti
mengamalkan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan
kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan
(tabrakan!).
Orang buta pertama mewakili mereka yang diliputi kegelapan batin,
keangkuhan, kebebalan, ego, dan kedengkian. Selalu menunjuk ke arah orang lain,
tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri.
Dalam perjalanan pulang, ia belajar menjadi lebih bijaksana melalui peristiwa
demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari
kebutaannya dan menyadari belas kasihan dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi
seorang pemaaf.
Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang acuh dan
kurang peduli pada sesama. Kadang, mereka memilih untuk membuta walau mereka
dapat melihat.
Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita;
sesungguhnya mereka menunjukkan kesalahan kita, baik disengaja maupun tidak.
Mereka dapat menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun mau menjadi buta;
selayaknyalah kita saling memahami dan saling menolong.
Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama diliputi kegelapan
batin seperti kita. Alangkah sulitnya menyalakan pelita, jikalau kita bahkan
tak dapat melihat pelitanya. Orang buta tak dapat menuntun orang buta. Itulah
pentingnya kita terus belajar agar kita semakin melek, semakin bijaksana.
Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang menjadi sadar akan
pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.
Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing?
Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, redup atau bahkan nyaris
padam?
JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri maupun bagi orang-orang lain di
sekitar kita.
Sebuah pepatah kuno berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat
dinyalakan dari sebuah pelita tanpa sedikit pun meredupkan nyala pelita
pertama.
Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.
No comments:
Post a Comment