Hidup di tengah hutan Peru adalah masa-masa yang indah
bagi Linder yang saat itu berusia 4 tahun. Ayah dan ibunya mengasihinya dan ada
banyak waktu untuk bermain bersama teman-temannya.
Ayah Linder adalah seorang penginjil keliling yang sering
bepergian dari desa ke desa untuk memberitakan Injil Kristus. Karena
kegiatannya ini, tentara yang bertugas di daerah itu kemudian mencurigai ayah
Linder. Mereka mencurigainya terlibat dalam kelompok teroris dan karena itu, ia
harus mati.
Akan tetapi, mereka memerlukan pengakuan. Untuk
mendapatkan itu dari ayah Linder, mereka menangkap Linder dan meletakkan
kepalanya di atas batu. Tanpa menunjukkan rasa kasihan, mereka memotong daun
telinga Linder dengan bayonet.
Linder menjerit kesakitan, namun hati ayahnya terasa
lebih sakit lagi melihat anaknya menderita. Kalut dan khawatir dengan keadaan
Linder, ayahnya berteriak keras, "Baiklah ... baiklah, saya seorang
teroris, apa pun yang ingin kalian dengar, tetapi tolong jangan sakiti anak
saya!"
Merasa senang mendengar pengakuan ini, tentara kemudian
memberondong ayah Linder dengan tembakan tepat di hadapan Linder. Berlumuran
darah di wajahnya, Linder tidak hanya kehilangan daun telinganya, ia baru saja
kehilangan ayah yang dikasihinya.
Kekerasan yang dialami Linder tidak hanya membunuh
ayahnya, tetapi juga membunuh indahnya masa kecil anak laki-laki ini. Sekejap,
ia berubah menjadi seorang anak yang penuh kemarahan dan dendam. Ia bersumpah,
tidak akan ada siapa pun dan seorang pun yang dapat menyakitinya lagi.
Dua tahun kemudian, karena kemiskinan yang semakin
menyengsarakan keluarga ini, ibu Linder memutuskan untuk mengirimnya ke panti
asuhan di ibu kota yang dikelola oleh sebuah yayasan Kristen. Kemarahan dan
luka dalam hati Linder membuatnya sulit berinteraksi dengan anak-anak lain,
bahkan ia tidak tunduk pada pimpinan panti asuhan.
Ketika Pendeta Guillermo dan istrinya mengambil alih
menjadi pemimpin di panti asuhan tersebut, mereka semakin tergelitik melihat
Linder kecil yang selalu berusaha menghindari mereka berdua. Pendeta Guillermo
mulai berdoa pada Tuhan untuk memberinya hikmat melayani Linder.
Satu hari, Pendeta Guillermo menggenggam tangan Linder
dan memandang jauh ke dalam matanya. Ia bisa merasakan Linder mencoba untuk
melepaskan cengkeramannya dan lari. Namun, Pendeta Guillermo memegangnya
erat-erat.
Menyadari bahwa ia tidak mungkin melawan, Linder balas
menatap Pendeta Guillermo. Dengan tegas, namun penuh kasih, Pendeta Guillermo
berkata kepadanya, "Linder, aku ingin engkau membayangkan tentara yang
membunuh ayahmu. Bayangkan wajahnya sekarang!" Tubuh Linder bergetar dan
aura kebencian memenuhi seluruh dirinya, matanya menyala dengan kebencian.
Mengetahui ia tidak bisa melarikan diri, Linder mulai mengeluarkan kata-kata
kebencian dari hatinya.
Setelah itu, Pendeta Guillermo berkata lagi,
"Sekarang, gantikan wajah itu dengan wajahku" Jika saja Pendeta
Guillermo tidak memegang lengan Linder erat-erat, tanpa ragu kemarahan Linder
pasti sudah ditumpahkan pada Pendeta itu. Air mata sudah membasahi wajah
Linder, ia menangis dengan segenap hatinya.
Pendeta Guillermo masih memegangnya erat, "Sekarang
Linder ...." ia memohon, "Ampuni aku ... tolong ampuni aku."
Dalam sekejap mata, rantai itu putus. Otot tubuh Linder
yang tadi menegang mulai terasa rileks, dan suara tangis yang menyakitkan mulai
keluar leluasa dari dalam hatinya. Ia menangis, menangis, dan terus menangis,
tapi tangisan ini adalah tangisan pemulihan. Kemarahan, rasa sakit dan takut yang
ia simpan bertahun-tahun, tumpah ruah bersama air matanya.
Sekarang, jika ada tamu datang ke panti asuhan, Linder
akan berkata pada mereka, "Kalau saya dewasa nanti, saya akan menjadi
penginjil seperti Ayah."
Diambil dari:
Judul Buletin: Frontline Faith, Januari - Februari 2011
Penulis: Tim Redaksi
Penerbit: Open Doors Indonesia, Jakarta
Halaman: 2 -- 3
No comments:
Post a Comment