C melakukan perjalanan sepanjang malam. Sebelum fajar, ia
menyeberangi Sungai T dan masuk kembali ke tanah kelahirannya di Korea Utara.
Para petugas patroli tepi sungai tetap menutup telinga kepada langkah kakinya.
Mereka juga tidak memerhatikan sebuah benda yang sangat berbahaya diselipkan di
antara baju di dalam tas punggungnya. C tahu benda tersebut bisa membawanya
menuju lapangan tembak, tetapi ia memilih untuk tetap membawanya.
Setelah 10 hari perjalanan, C tiba di rumah. Istri dan
anak perempuannya menyambutnya dengan kelegaan. Jika para tetangga
mencurigainya bahwa ia telah melakukan perjalanan ke luar negeri, mereka pasti
melaporkannya ke pihak yang berwenang dan C pasti akan dipenjarakan di suatu
kamp kerja paksa, mungkin untuk seumur hidup.
Istri C tahu bahaya benda yang dibawa pulang oleh
suaminya. Ia tidak bisa tenang sampai benda tersebut disembunyikan. Putri
mereka yang berusia 16 tahun tidak tahu apa yang ada di dalam tas ayahnya, dan
kedua orang tuanya tidak memberitahukan kepadanya. Adalah lebih baik kalau ia
tidak tahu.
Setelah menunggu hingga menjelang malam, C dengan
hati-hati membungkus benda yang telah ia selundupkan dari Cina dan menguburnya
di halaman rumah kecilnya yang terdiri atas dua kamar. Ini adalah keempat
kalinya ia menyelesaikan tugas berisiko ini dalam 4 tahun terakhir, dan ia
berdoa agar Tuhan menjaganya melakukannya, paling tidak dua kali perjalanan
lagi.
C melihat ke lubang yang telah tertutupi dan lubang yang
baru digalinya di halamannya. Ia tidak tahu kapan atau apakah ia akan punya
keberanian untuk menggali dan mengambil kembali benda-benda yang telah ia
tanam. Ia tahu, jika ia memakainya atau memberikannya kepada yang lain,
kemungkinan besar ia akan dibunuh. Yang terkubur di dalam halaman rumah C
adalah buku yang paling berbahaya di Korea Utara, yaitu Alkitab.
"Jika Kamu Baca Buku ini ...."
Pada suatu sore, kami bertemu dengan C di Cina ketika ia
akan menyeberang pulang ke Korea Utara dalam perjalanan kelimanya. C dan rekan
seperjalanannya setuju untuk membatalkan kepulangannya hari itu, dan tinggal
satu hari lagi di Cina untuk berbicara dengan kami.
C berusia 40 tahunan dan sikapnya rendah hati. Seperti
kebanyakan orang Korea Utara, ia tumbuh dengan memercayai bahwa kekristenan
adalah jahat dan para utusan Injil membunuh orang-orang untuk mencuri organ
tubuh mereka. Ia juga percaya bahwa Alkitab hanya berisi yang jahat dan oleh
karena itu, Alkitab tidak boleh dibaca atau dimiliki. Mengaku percaya kepada
Tuhan, memiliki atau membaca Alkitab akan dipenjarakan.
Agama resmi negara atau ideologi Korea Utara disebut
Juche, diciptakan oleh Kim Il-Sung, pendiri negara Korea Utara modern. Juche
mengajarkan ketergantungan pada diri sendiri dan supaya manusia menjadi tuan
dari segalanya. Ini merupakan pengajaran yang menganggap pendiri negara sebagai
dewa atas raja-raja, dan memaksa rakyat Korea Utara untuk menyembah Kim Il-Sung
dan putranya Kim Jong-Il.
Pelajaran keyakinan Juche diberlakukan di seluruh
sekolah, di semua level pendidikan. Kepatuhan total kepada pengajarannya adalah
perintah dan keharusan. Ketidakpatuhan menghasilkan hukuman yang berat.
Keyakinan Juche juga mengajarkan bahwa, setiap warga negara diwajibkan
melaporkan kegiatan apa pun yang bertentangan dengan sistem yang telah
diterapkan oleh pemerintah. Anak-anak diperintahkan untuk mengawasi
sanak-saudara, tetangga, orang asing, dan melaporkan kegiatan-kegiatan mereka
yang mencurigakan kepada pemerintah.
Jika ada orang Korea Utara yang ingin memiliki sedikit
kebebasan atau ketakutan terhadap kemarahan pemerintah, beberapa di antara
mereka akan mencoba untuk melarikan diri dari negara itu. Sekitar tahun
1990-an, suatu kelaparan dahsyat menyebar ke seluruh Korea Utara, membunuh
hampir 3 juta penduduknya. Ketika kelaparan itu melebihi ketakutan mereka, banyak
orang Korea Utara berani mempertaruhkan nyawanya mati di kamp kerja paksa,
untuk melarikan diri menyeberangi perbatasan menuju Cina.
C adalah salah satu dari mereka. Pada tahun 1999, ia
melarikan diri ke Cina dalam pencariannya akan gereja-gereja yang dirumorkan
membagi-bagikan makanan. Setelah diberi makan dan diberi oleh-oleh untuk
dibawanya pulang, C juga diberi sebuah Alkitab. Pada awalnya, ia tidak ingin
membacanya karena memercayainya sebagai buku setan. Namun, seseorang yang
memberikan Alkitab itu kepadanya, Pendeta B, berkata kepadanya, "Jika kamu
membaca buku ini, kamu akan menemukan kebenaran."
"Awalnya, saya ketakutan," kata C. "Namun,
lebih banyak saya membaca, lebih banyak saya menyadari bahwa Alkitab hanyalah
berisi kebaikan. Saya tidak tahu mengapa buku ini dilarang di Korea Utara. Saya
percaya apa yang saya baca akan memimpin hidup saya kepada Kristus."
Bersamaan dengan penemuan imannya dalam Kristus, C
membawa enam buah Alkitab kembali ke Korea Utara. Setelah membagikan iman
barunya kepada istrinya, mereka berdua mulai gemar membaca Alkitab. Akan
tetapi, C memperingatkan istrinya bahwa jika seandainya polisi datang
menangkapnya, istrinya harus segera menghancurkan keenam Alkitab tersebut.
Seorang tetangga dan teman lama melaporkan kepada pihak
berwajib bahwa C telah kembali dari Cina dengan membawa Alkitab. Polisi
menangkap dan menginterogasi C selama 29 hari, memukul dan menendangi C,
memaksanya memberitahukan di mana Alkitab-Alkitab tersebut. Karena takut
kehilangan nyawanya, C mengatakan kepada polisi bahwa dia sendiri yang telah
menghancurkan Alkitab-Alkitab tersebut karena ia tahu pemerintah tidak
mengizinkannya untuk memilikinya. Ia mengatakan kepada mereka bahwa ia telah
dipaksa membawa pulang Alkitab ke Korea Utara.
Polisi menggeledah rumah C, tetapi mereka tidak menemukan
apa pun. Istri C telah membakarnya, seperti yang diperintahkan suaminya.
Setelah pulih dari kejadian yang ia alami selama interogasi, ia bersyukur tidak
dijebloskan ke dalam penjara, C kembali kepada kehidupan normalnya. Namun, ia
tidak dapat berhenti memikirkan Alkitab yang telah dihancurkannya. Segera, C
mulai mempertimbangkan perjalanan lainnya ke Cina.
Kembali ke Cina berarti memulai perjalanan malam yang
berbahaya dengan cara menyeberangi sungai. Dan, untuk apa? Apakah ia rela
mempertaruhkan hidupnya hanya karena Alkitab? C dan istrinya gelisah. Tidak
satu pun dari mereka ingin anak perempuan mereka tumbuh tanpa seorang ayah.
Setelah berdebat selama 2 tahun, C memutuskan untuk mengulangi perjalanannya.
C kembali ke Cina dan menceritakan kepada Pendeta B
mengenai penahanannya dan membakar Alkitab. Lalu, ia dengan rendah hati meminta
sebuah Alkitab lagi, yang akhirnya ia bawa dengan berani ke Korea Utara.
Setahun kemudian, C kembali lagi ke Cina dan meminta satu Alkitab lagi kepada
pendeta B. Kali ini, C berjanji kepada Pendeta B bahwa ia akan kembali lagi
untuk mendapatkan lebih banyak Alkitab.
Ketika kami duduk berbicara dengan C, ia tersenyum dan
berkata, "Malam ini, aku akan membawa Alkitab kelima ke Korea Utara. Tahun
depan, aku akan memunyai enam buah Alkitab!" Kami bertanya kepadanya apa
yang ia rencanakan dengan Alkitab-Alkitab tersebut. Apakah ia berencana untuk
membagi-bagikannya? Percakapan kami terhenti dalam beberapa menit. C memandang
kami dengan sedih dan berkata, "Saya belum siap mati ...."
Diambil dari:
Judul buletin: Kasih Dalam Perbuatan, Edisi Mei -- Juni
2010
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya
Halaman: 7 -- 8
No comments:
Post a Comment