"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.." (Mazmur 23:4)

Monday, 25 March 2013

TUHAN ITU JAHAT


 “Papi jahat!” Lala, anak dari pak Hengky itu menjerit dengan kerasnya. “Papi jahaatttt!!” dan meledaklah tangisan Lala. Kalau dihitung-hitung, ini sudah yang ketiga kalinya dalam hari itu Lala menangis dan berteriak “Papi Jahat” kepada papinya. “Lala gak mau minum obat itu lagi, pi… pahit! Lala gak mau, pi…! Papi jahat! Papi jahat!”

Seminggu berselang sejak kejadian itu, Lala datang kepada papinya dan berkata, “Pi, makasih ya udah setia jagain Lala waktu Lala sakit. Papi baiiiikkkk deh!” “Masa sih?” “Iya, papiku paling baiiiikkkk sedunia. I love you, papi. Lala berangkat ke sekolah dulu ya, pi. Daaaggg…!”

Kisah singkat di atas mungkin sekali pernah kita alami dalam keluarga kita. Atau barangkali kita pernah menjadi seperti Lala yang pada suatu waktu berkata “papi jahat” dan di kemudian hari berubah menjadi “papi baik.” Jadi, sebenarnya sang papi ini jahat atau baik, ya? Bingung, euy! Tentu saja, baik atau jahatnya sang papi ini dinilai secara subjektif oleh Lala. Itulah jadinya, kadang bisa baik, kadang bisa jahat, ya… suka-sukanya dia! Cuma, penilaian model begini bakal runyam ketika kita terapkan kepada Allah. Nggak heran, kalau Nietzche ketika melihat realita penderitaan kemudian dalam bukunya yang ditulis di Genoa pada tahun 1880 yaitu Die Frochliche Wissenschaft memberikan ungkapan Requiem aeternam deo! yang berarti: “Semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi.” Inilah salah satu ungkapan yang termasyhur dalam sebuah aforisme Nietzsche dimana ia berseru “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya.”

Walah…! Allah sudah gak berdaya lagi, dan banyak orang mulai meng”iya” kan. “Tuh, buktinya banyak orang menderita di dunia ini!” kata seorang ibu. Yang lain berkata, “Masa ya, tetanggaku itu lho orangnya buaiiiiiikkkkk bangetttttt… masa iya, bisa-bisanya hidupnya menderita. Bulan lalu divonis dokter kena leukemia akut, eh.., kemarin ketabrak truk, padahal dia itu berdiri di trotoar, lho! Koq bisa ya Tuhan itu gak mau nolong orang baik kaya dia?” “Jangankan dia, jeng… kakak iparku itu lho, pendeta! Kurang baik apa dia, saking baiknya, disayang ama semua jemaatnya. Eh, bulan lalu pelayanan misi ke pedalaman Papua, belum nyampe ke tempatnya, pesawatnya jatuh nabrak tebing. Koq bisa ya, padahal dia itu melayani Tuhan lho! Apa Tuhan itu jahat, ya?” Dan kumpulan ibu-ibu yang ikut arisan sore itu saling manggut-manggut dan dalam hati meng”iya” kan kalau Tuhan itu jahat.

Sementara di waktu yang bersamaan, di tempat yang berbeda, seorang abang becak sedang bicara dengan istrinya di sebuah gubuk yang reot, “Bu.., Tuhan itu baiiikkk ya.., “ “Iya, pak. Amin!” “Lha, aku juga gak nyangka kalo kemarin aku dapat uang banyak dari narik becak!” “puji Tuhan, pak. Ibu juga tumben-tumben dapat kerjaan jadi tukang cuci di rumah pak Setiawan. Lumayan, pak, bisa buat beli beras sama bayar uang sekolah anak-anak!” “bener, bu. Bapak juga bersyukur sekali sama Tuhan. Jadi hari ini kita dapat berapa totalnya, bu?” “tujuh puluh ribu, pak. Jaman sekarang tumben-tumben dikasi rezeki sebegini besar dari Tuhan.” Dan sore itu abang becak dan istrinya berdoa bersyukur atas kebaikan Tuhan.

Tik…tik..tik…tik… Bunyi tetesan air dari kran rumah tahanan itu sepertinya tidak mampu mengusik kegundahan Udin. Sore itu Udin terpaku, dan terus berpikir, “Apakah Tuhan itu jahat? Kalau aku sekarang ditahan karena tertangkap memakai narkoba, itu bukan salahku, karena aku dulu dijebak sama sahabatku sendiri! Tapi Tuhan itu mungkin saja baik, kalau aku masuk tahanan, mungkin ini cara Tuhan agar aku sembuh dari kecanduanku. Oh, Tuhan…. Apakah Kau baik atau jahat? Aku bingung… Aku gak tahu…!” Tik..tik..tik.. bunyi tetesan akir kran itu tak mampu menjawab kegundahan Udin akan Tuhan.

Pergumulan akan Allah sebagai sosok Allah yang baik atau jahat, mungkin sekali menjadi pergumulan kita hari ini. Tidak sedikit orang karena penderitaan yang dia alami membuat dia berpandangan bahwa Allah itu jahat. Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa ada sebagian besar orang yang dengan sadarnya berkata “Allah itu baik” ketika berbagai pengalaman hidupnya yang selalu disertai oleh Allah. Kalangan ateis, memberikan solusi dengan menghilangkan eksistensi Allah untuk mengatasi kebingungan manusia akan realita penderitaan dan kejahatan di dunia ini. Namun persoalan filosofis disini muncul, mengingat jika memang ada gagasan tentang kejahatan dan penderitaan maka harus ada standar kebaikan itu sendiri. Sepertinya menghilangkan eksistensi Allah akhirnya bukanlah jawaban atas persoalan kejahatan dan penderitaan manusia.

Kreeft, seorang pakar filosofi mengemukakan bahwa dengan adanya gagasan tentang kejahatan, maka gagasan tentang kebaikan dan Allah sebagai sumber dan standar kebaikan harus diperhitungkan! Yup, that’s fair! Dalam arti, bahwa menilai Allah itu baik atau jahat bukan lagi dalam ranah penilaian subjektif seseorang. Penilaian subjektif akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda-beda tentang Allah dan berat sebelah, tergantung kepada pengalaman hidupnya. Tidak heran, menilai Allah berdasarkan pengalaman hidup membuat seseorang gampang kecewa terhadap Allah karena realita penderitaan dan kejahatan seolah-olah lebih mendominasi ketimbang realita kehidupan yang damai dan sejahtera. Kita akan terjebak menjadi seperti Lala, karena kita cuma menilainya dari pandangan subjektif kita.

“Lalu, Allah itu jadinya baik atau nggak sih?” tanya temanku dengan gusarnya. “Udah lah.., aku minta jawaban instantnya aja!” Dan aku hanya tersenyum, sepertinya budaya instant sudah melanda zaman ini. Aku memulai penjelasan dengan berkata, “Allah tidak pernah bertentangan dengan natur-Nya…..” dan tidak terasa sudah lebih dari dua jam saya mulai menjelaskan tentang pertanyaan temanku tentang Allah …

No comments:

Post a Comment