“Papi jahat!” Lala, anak dari pak Hengky itu menjerit dengan kerasnya. “Papi jahaatttt!!” dan meledaklah tangisan Lala. Kalau dihitung-hitung, ini sudah yang ketiga kalinya dalam hari itu Lala menangis dan berteriak “Papi Jahat” kepada papinya. “Lala gak mau minum obat itu lagi, pi… pahit! Lala gak mau, pi…! Papi jahat! Papi jahat!”
Seminggu
berselang sejak kejadian itu, Lala datang kepada papinya dan berkata, “Pi,
makasih ya udah setia jagain Lala waktu Lala sakit. Papi baiiiikkkk deh!” “Masa
sih?” “Iya, papiku paling baiiiikkkk sedunia. I love you, papi. Lala berangkat
ke sekolah dulu ya, pi. Daaaggg…!”
Kisah
singkat di atas mungkin sekali pernah kita alami dalam keluarga kita. Atau
barangkali kita pernah menjadi seperti Lala yang pada suatu waktu berkata “papi
jahat” dan di kemudian hari berubah menjadi “papi baik.” Jadi, sebenarnya sang
papi ini jahat atau baik, ya? Bingung, euy! Tentu saja, baik atau jahatnya sang
papi ini dinilai secara subjektif oleh Lala. Itulah jadinya, kadang bisa baik,
kadang bisa jahat, ya… suka-sukanya dia! Cuma, penilaian model begini bakal
runyam ketika kita terapkan kepada Allah. Nggak heran, kalau Nietzche ketika
melihat realita penderitaan kemudian dalam bukunya yang ditulis di Genoa pada
tahun 1880 yaitu Die Frochliche Wissenschaft memberikan ungkapan Requiem
aeternam deo! yang berarti: “Semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi.”
Inilah salah satu ungkapan yang termasyhur dalam sebuah aforisme Nietzsche
dimana ia berseru “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya.”
Walah…!
Allah sudah gak berdaya lagi, dan banyak orang mulai meng”iya” kan. “Tuh,
buktinya banyak orang menderita di dunia ini!” kata seorang ibu. Yang lain
berkata, “Masa ya, tetanggaku itu lho orangnya buaiiiiiikkkkk bangetttttt… masa
iya, bisa-bisanya hidupnya menderita. Bulan lalu divonis dokter kena leukemia
akut, eh.., kemarin ketabrak truk, padahal dia itu berdiri di trotoar, lho! Koq
bisa ya Tuhan itu gak mau nolong orang baik kaya dia?” “Jangankan dia, jeng…
kakak iparku itu lho, pendeta! Kurang baik apa dia, saking baiknya, disayang
ama semua jemaatnya. Eh, bulan lalu pelayanan misi ke pedalaman Papua, belum
nyampe ke tempatnya, pesawatnya jatuh nabrak tebing. Koq bisa ya, padahal dia
itu melayani Tuhan lho! Apa Tuhan itu jahat, ya?” Dan kumpulan ibu-ibu yang
ikut arisan sore itu saling manggut-manggut dan dalam hati meng”iya” kan kalau
Tuhan itu jahat.
Sementara di
waktu yang bersamaan, di tempat yang berbeda, seorang abang becak sedang bicara
dengan istrinya di sebuah gubuk yang reot, “Bu.., Tuhan itu baiiikkk ya.., “
“Iya, pak. Amin!” “Lha, aku juga gak nyangka kalo kemarin aku dapat uang banyak
dari narik becak!” “puji Tuhan, pak. Ibu juga tumben-tumben dapat kerjaan jadi
tukang cuci di rumah pak Setiawan. Lumayan, pak, bisa buat beli beras sama
bayar uang sekolah anak-anak!” “bener, bu. Bapak juga bersyukur sekali sama
Tuhan. Jadi hari ini kita dapat berapa totalnya, bu?” “tujuh puluh ribu, pak.
Jaman sekarang tumben-tumben dikasi rezeki sebegini besar dari Tuhan.” Dan sore
itu abang becak dan istrinya berdoa bersyukur atas kebaikan Tuhan.
Tik…tik..tik…tik…
Bunyi tetesan air dari kran rumah tahanan itu sepertinya tidak mampu mengusik
kegundahan Udin. Sore itu Udin terpaku, dan terus berpikir, “Apakah Tuhan itu
jahat? Kalau aku sekarang ditahan karena tertangkap memakai narkoba, itu bukan
salahku, karena aku dulu dijebak sama sahabatku sendiri! Tapi Tuhan itu mungkin
saja baik, kalau aku masuk tahanan, mungkin ini cara Tuhan agar aku sembuh dari
kecanduanku. Oh, Tuhan…. Apakah Kau baik atau jahat? Aku bingung… Aku gak
tahu…!” Tik..tik..tik.. bunyi tetesan akir kran itu tak mampu menjawab
kegundahan Udin akan Tuhan.
Pergumulan
akan Allah sebagai sosok Allah yang baik atau jahat, mungkin sekali menjadi
pergumulan kita hari ini. Tidak sedikit orang karena penderitaan yang dia alami
membuat dia berpandangan bahwa Allah itu jahat. Tapi tidak bisa kita pungkiri
bahwa ada sebagian besar orang yang dengan sadarnya berkata “Allah itu baik”
ketika berbagai pengalaman hidupnya yang selalu disertai oleh Allah. Kalangan
ateis, memberikan solusi dengan menghilangkan eksistensi Allah untuk mengatasi
kebingungan manusia akan realita penderitaan dan kejahatan di dunia ini. Namun
persoalan filosofis disini muncul, mengingat jika memang ada gagasan tentang
kejahatan dan penderitaan maka harus ada standar kebaikan itu sendiri.
Sepertinya menghilangkan eksistensi Allah akhirnya bukanlah jawaban atas
persoalan kejahatan dan penderitaan manusia.
Kreeft,
seorang pakar filosofi mengemukakan bahwa dengan adanya gagasan tentang
kejahatan, maka gagasan tentang kebaikan dan Allah sebagai sumber dan standar
kebaikan harus diperhitungkan! Yup, that’s fair! Dalam arti, bahwa menilai
Allah itu baik atau jahat bukan lagi dalam ranah penilaian subjektif seseorang.
Penilaian subjektif akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda-beda tentang Allah
dan berat sebelah, tergantung kepada pengalaman hidupnya. Tidak heran, menilai
Allah berdasarkan pengalaman hidup membuat seseorang gampang kecewa terhadap
Allah karena realita penderitaan dan kejahatan seolah-olah lebih mendominasi
ketimbang realita kehidupan yang damai dan sejahtera. Kita akan terjebak
menjadi seperti Lala, karena kita cuma menilainya dari pandangan subjektif
kita.
“Lalu, Allah
itu jadinya baik atau nggak sih?” tanya temanku dengan gusarnya. “Udah lah..,
aku minta jawaban instantnya aja!” Dan aku hanya tersenyum, sepertinya budaya
instant sudah melanda zaman ini. Aku memulai penjelasan dengan berkata, “Allah
tidak pernah bertentangan dengan natur-Nya…..” dan tidak terasa sudah lebih
dari dua jam saya mulai menjelaskan tentang pertanyaan temanku tentang Allah …
No comments:
Post a Comment